Dwangsom dibebankan kepada keuangan pribadi pejabat TUN
28Oct
Bandung - Rabu, 27 Oktober 2021
Dwangsom adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dalam amar putusan yang dibebankan kepada terhukum dan diberlakukan apabila terhukum tidak melaksanakan hukuman yang ditetapkan. Menurut Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung R.I., Prof Supandi, Dwangsom atau uang paksa dalam hukum acara PERATUN ini adalah norma lama dalam rangka memback up eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang Berkekuatan Hukum Tetap karena putusan Peratun bersifat condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu. Hal tersebut disampaikan Prof Supandi ketika memberikan Pengantar Diskusi pada sesi Diskusi Reboan PTUN Bandung seri-19, Rabu, 27 Oktober 2021. Diskusi Reboan mengambil topic, Implementasi Dwangsom dalam putusan Peratun, dengan menghadirkan pemantik sekaligus narasumber yakni Dr. Bambang Heryanto, SH, MH, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Diskusi dilaksanakan secara virtual dan disiarkan secara langsung melalui channel youtube PTUN Bandung.
Menurut uraiannya, Prof Supandi menyampaikan bahwa sebetulnya inti dari pelaksanaan Putusan Peratun adalah sikap konsisten, sikap sadar dan patuh hukum penyelenggara negara sebagai Tergugat untuk melaksanakan putusan. “Tanpa uang paksa pun apabila kewajiban Pejabat pemerintah dalam melaksanakan Administrasi negara atas perintah Pengadilan sebagai hukum, maka senang tidak senang, pejabat wajib melaksanakan Putusan pengadilan tersebut.” ujar Guru Besar Universitas Diponegoro ini. Menurutnya, keberadaan dwangsong dan hal-hal yang terkait dengan hukum acara di Peratun harus mampu merespon perkembangan revolusi industry digital yang saat semakin massif dan akhirnya juga melahirkan Digitalisasi Pemerintahan (e–Government). Digitalisasi Pemerintahan menghendaki tata pelaksanaan pemerintaha menjadi sederhana, fleksibel dan tidak ribet.“ Oleh karenanya dalam mendiskusikan hukum acara seperti mendiskusikan Dwangsom ini agar berpikir secara futuristic sehingga hasil diskusi tidak ketinggalan zaman” tegas Prof Supandi.
Sementara dalam paparan materinya, Dr. Bambang Heryanto menegaskan bahwa Dwangsom hadir untuk memberikan nilai kekuatan eksekutorial putusan TUN dan meningkatkan kewibawaan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pandangannya, pada umumnya dan praktiknya, belum banyak pihak yang di gugatannya mencantumkan tuntutan Dwangsom ini. “Kalaupun ada tuntutan dwangsom ini, namun pada umumnya Hakim karena belum ada PP nya kemudian disarankan didrop saja dalam pemeriksaan persiapan” ujarnya. Para Hakim dan sebagian para akademisi, pada umumnya bersikap pesimis tentang kemungkinan bisa dilaksanakannya dwangsom karena Peraturan Pemerintahnya belum ada.
Saat ini dwangsom tidak terlalu menarik dalam diskursus setiap isu pengujian sengketa karena pemahaman yang terbatas tentang dwangsom. Bahkan masih banyak pihak yang belum membedakan secara sempurna antara Ganti Rugi dengan Dwangsom. Menurut Bambang Heryanto, Ganti rugi dan dwangsom meskipun sama-sama menyangkut pembayaran sejumlah uang, tetapi merupakan dua hal yang berbeda. Ganti rugi dalam UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 53 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (10). Sementara itu uang paksa dwangsom tidak diatur dalam undang-undang tersebut. “Ganti rugi adalah merupakan jenis hukuman pokok yang dibebankan kepada pihak yang terbukti melakukan perbuatan hukum (onrechmatige) atau melakukan ingkar janji (wanprestasi). Dan beban pembayaran tersebut apabila telah diputuskan dalam amar putusan hakim, maka jumlah tersebut harus dipenuhi oleh si Terhukum.” Tegasnya. Menurutnya Dwangsom adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dalam amar putusan yang dibebankan kepada tergugat dan diberlakukan apabila tergugat tidak melaksanakan hukuman yang ditetapkan. “ Jadi, dwangsom ia bukan termasuk hukum pokok, karena meskipun telah ditetapkan sejumlah uang paksa dalam amar putusan, maka pihak yang kalah tadi tidak perlu membayarnya/ dibebani pembayaran uang paksa tersebut apabila ia telah dengan sadar/ rela mematuhi isi amar putusan. Kewajiban dwangsom harus dipenuhi/ dibayar manakala pihak yang kalah tadi tidak mematuhi isi putusan (yang bersifat condemnatoir). Inilah perbedaan utama Ganti Rugi dan dwangsom.” Ujar mantan Ketua PTUN Serang ini.
Terkait dengan kepada siapa Dwangsom tersebut dibebankan, apakah kepada lembaga atau kepada pejabat pribadi, Bambang Heryanto menegaskan bahwa menurut teori dari Kranenberg & Vegting mengenai pertanggungjawaban pejabat publik, yaitu terdiri dari konsep yaitu fautes de service (tanggung jawab lembaga) dan fautes personalles (tanggung jawab pribadi pejabat) . “ Namun saya sependapat dengan Prof Supandi yang menegaskan bahwa uang paksa dibebankan kepada keuangan pribadi pejabat. Alasannya, pejabat yang tidak mematuhi putusan hakim tidak berada pada posisi menjalankan peranan negara, karena menjalankan peranan negara adalah melaksanakan ketentuan hukum bukan melawan hukum.” Ujar mantan Wakil Ketua PTUN Jakarta ini.
Untuk membantu dan mendorong para Hakim agar tidak ragu menerapkan dwangsom dalam putusannya, Bambang Heryanto menyebutkan bahwa hakim PTUN dapat menerapkan dwangsom dengan merujuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 maupun Buku II Buku II Petunjuk Administratif Dan Teknis Peratun. Dalam buku II disebutkan bahwa Permohonan pembayaran uang paksa dapat diajukan dalam gugatan. Dalam hal gugatan Penggugat tidak mencantumkan pembayaran uang paksa, maka Hakim dalam pemeriksaan persiapan, memberitahu Penggugat bahwa ia dapat mencantumkan pembayaran uang paksa dalam gugatannya. Dan Pada saat Hakim mengabulkan gugatan, maka pengenaan pembayaran uang paksa sebaiknya diuraikan dalam pertimbangan hukum bersama-sama dengan pokok perkaranya. Pembayaran uang paksa terhadap Tergugat dapat dikenakan dalam gugatan yang menyangkut kepegawaian, yaitu apabila Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang mewajibkan Tergugat untuk melakukan rehabilitasi.
Diskusi Reboan yang dipandu oleh Irvan Mawardi juga dihadiri oleh Hakim Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, Hendro Puspito, beberapa Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara lainnya antara lain, Ketua PTUN Surabaya, Ketua PTUN Ambon , Ketua PTUN Bengkulu, Ketua PTUN Kupang, Wakil Ketua PTUN Tanjung Pinang, para Hakim tingkat pertama PTUN se-Indonesia serta akademisi dari Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Institut Agama Islam Negeri Ambon, Universitas Eksakti Padang dll. (IM)